Deni Pranajaya
3 comments
Makanan pokok adalah makanan yang menjadi gizi dasar. Makanan pokok
biasanya tidak menyediakan keseluruhan nutrisi yang dibutuhkan tubuh, oleh
karenanya biasanya makanan pokok dilengkapi dengan lauk pauk untuk mencukupkan
kebutuhan nutrisi seseorang dan mencegah kekurangan gizi. Makanan pokok
berbeda-beda sesuai dengan keadaan tempat dan budaya, tetapi biasanya berasal
dari tanaman, baik dari serealia seperti beras, gandum, jagung, maupun
umbi-umbian seperti kentang, ubi jalar, talas dan singkong. Roti, mi (atau
pasta), nasi, bubur, dan sagu dibuat dari sumber-sumber tersebut.
Kami pemakan nasi bukan
pemakan gandum dan produk olahannya, atau yang lainnya. Itu karena saya lahir
dan dibesarkan di Pulau Dewi Sri di Indonesia. Jadi, makanan pokok kebanyakan
orang di lingkungan kami adalah nasi dari beras yang diolah dari gabah yang dipanen
dari tanaman padi. Di tempat berbeda bisa jadi makanan pokoknya berbeda pula.
Di beberapa daerah kering di Jawa dan Nusa Tenggara, ada yang menjadikan jagung
sebagai makanan pokok. Ada pula yang menjadikan olahan singkong sebagai makanan
pokok. Di Indonesia Timur lainnya, ada pula yang makanan pokoknya papeda
-semacam bubur- yang merupakan olahan tepung sagu. Ada pula yang makan ubi
sebagai makanan pokoknya.
Di belahan dunia yang lain, banyak yang
menggunakan olahan gandum misalnya roti atau mie sebagai makanan pokok. Di
beberapa wilayah di Afrika, makanan pokoknya adalah fufu dan akpu, yang
merupakan olahan dari singkong. Ada pula yang memakan semovita dari tepung
beras.
Untuk lebih mengetahui
tentang hasil petanian tanaman pangan berikut merupakan makanan pokok pengganti
nasi, yaitu;
1. JAGUNG
Jagung (Zea
mays), adalah jenis tanaman padi-padian yang berasal dari Amerika. Tanaman
jagung sampai ke Indonesia dibawa oleh orang-orang Spanyol. Jagung dapat tumbuh
di daerah tropis maupun daerah sub tropis. Jagung ditanam di ladang, tegalan
dan sawah pada musim kemarau. Kadang-kadang jagung juga ditanam sebagai tanaman
sela/tumpangsari di lahan perkebunan. Jagung tumbuh sangat baik di daerah
berketinggian 0-1500 meter di atas permukaan air laut.
Jagung merupakan bahan
makanan pokok bagi sebahagian penduduk Nusa Tenggara Timur, Madura, dan
Minahasa. Biji jagung yang sudah masak berwarna kuning atau ungu. Butir jagung
dapat dibuat tepung atau pati jagung, yang disebut Maizena. Tongkolnya yang
sangat muda dapat dimakan sebagai lalap, sayur, atau acar.
Tanaman
jagung yang masih muda juga sangat baik untuk makanan ternak. Daun pelindung
tongkol yang sudah kering (kelobot) dapat digunakan untuk penggulung rokok atau
pembungkus dodol.
2. KETELA POHON
Ketela
pohon (Manihot asculenta atau Manihot utilissima), disebut juga ubi kayu atau
singkong. Tanaman ini berasal dari Amerika Selatan. Ketela pohon banyak ditanam
di lahan kering dengan jenis tanah yang gembur. Tanaman ini dapat hidup di
daerah-daerah dengan musim kering yang lunak hingga sangat kering. Pada dataran
rendah, ketela pohon banyak ditanam pada ketinggian 0-4500 meter di atas
permukaan laut. Ketela pohon dimanfaatkan sebagai makanan pokok pengganti beras
atau jagung, khususnya bagi penduduk di Kabupaten Gunung Kidul (Daerah Istimewa
Yogyakarta).
Umbinya
dapat dibuat tepung tapioka atau gaplek yang sebagian besar di ekspor ke
Jepang. Selain itu umbinya dapat dibuat tape melalui proses peragian, tape di
Jawa Barat dikenal dengan nama peuyeum. Daunnya yang masih muda dapat dimakan
sebagai lalap dengan direbus terlebih dahulu, atau dijadikan sayur. Daerah
penghasil ketela pohon di Indonesia adalah Jawa Timur, Lampung, Sulawesi
Selatan, dan Sumatera Utara.
3. UBI JALAR
Ubi jalar
(Ipomoea batatas L.), adalah jenis tanaman semak yang berasal dari Hindia
Barat. Tanaman ini sampai ke Indonesia dibawa oleh orang-orang Spanyol. Ubi
jalar cocok ditanam di daerah ketinggian 0-2000 meter di atas permukaan air
laut. Ubi jalar disebut juga ketela rambat. Umbinya dapat dimakan dan merupakan
makanan pokok penduduk Papua Bagian Tengah. Bagi penduduk daerah lain di
Indonesia, ubi jalar merupakan tambahan. Daunnya juga dapat dimakan sebagai
sayuran.
Daerah utama penghasil
ubi jalar di Indonesia adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera
Utara dan Sulawesi Selatan.
Ubi jalar merupakan
komoditas penting di Papua karena merupakan makanan pokok bagi sebagian besar
penduduk di pedalaman, terutama di daerah pegunungan, selain sebagai makanan
babi. Di beberapa lokasi, peran ubi jalar sangat strategis, baik dari aspek
ekologi maupun sosial ekonomi. Hal ini karena peluang untuk mendapatkan
komoditas substitusi ubi jalar sebagai bahan pangan relatif kecil. Selain ubi
jalar, secara ekologis sangat sedikit tanaman pangan yang mampu beradaptasi dan
berproduksi dengan baik dengan teknologi sederhana pada ketinggian 1.650−2.700
m dpl., seperti di kawasan lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya. Ubi jalar dapat
tumbuh pada dataran rendah maupun dataran tinggi. Namun, hasil ubi jalar di
dataran rendah (< 500 m dpl.) lebih tinggi daripada di dataran tinggi (>
900 m dpl.). Suhu udara yang dingin di dataran tinggi menyebabkan pertumbuhan
tanaman ubi jalar kurang optimal.
Produksi
ubi jalar di Papua dari tahun ke tahun cenderung menurun. Penurunan tersebut
antara lain disebabkan makin berkurangnya luas panen. Namun, produksi tersebut
masih jauh di atas tingkat konsumsi. Pada tahun 2007, produksi ubi jalar di
Papua mencapai 101.710 ton, sementara konsumsi total hanya 31.125 ton dan
konsumsi per kapita 38,36 g/hari. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan ubi jalar
masyarakat Papua tercukupi oleh produksi lokal, dan bahkan lebih. Kelebihan
produksi tersebut menjadi suatu tantangan untuk memanfaatkan ubi jalar menjadi
aneka produk olahan yang memiliki daya saing tinggi. Pengembangan ubi jalar
khususnya di Kabupaten Jayawijaya dibedakan antara untuk bahan pangan manusia
dan pakan babi. Varietas ubi jalar untuk bahan pangan dibudidayakan dengan cara
khusus, serta memiliki kadar pati tinggi dan rasa manis. Varietas dengan rasa
umbi kurang enak dan kandungan seratnya tinggi, serta umbi yang kecil atau
rusak digunakan untuk pakan babi. Terdapat puluhan bahkan ratusan jenis ubi
jalar yang sesuai untuk konsumsi manusia dan dibudidayakan berdasarkan kondisi
agroekosistem setempat.
4. TALAS
Talas
(Colocasia esculenta), Talas merupakan makanan pokok penting di daerah Ayamaru
dan Biak Barat. Rochani (1996) melaporkan, 64% masyarakat Ayamaru mengonsumsi
talas sebagai makanan pokok. Meskipun masyarakat di daerah lain di Papua juga
mengonsumsi talas, sifatnya hanya sebagai pangan alternatif. Beberapa puluh
tahun yang lalu tanaman ini dominan di daerah perbatasan Indonesia-Papua
Nugini, namun kini kedudukan talas mulai tergeser oleh ubi jalar. Produksi
talas di Papua menurun drastis dari 3.739 ton pada tahun 2003 menjadi 689 ton pada
tahun 2005. Namun, data Badan Bimas dan Ketahanan Pangan Provinsi Papua
menunjukkan, pada tahun 2007 produksi talas Provinsi Papua mancapai 7.014 ton
dengan total konsumsi 5.022 ton.
Hal ini
menunjukkan bahwa produksi talas mencukupi kebutuhan untuk konsumsi masyarakat.
Tanaman talas tersebar pada berbagai agroekosistem, mulai dari dataran rendah
sampai tinggi dan dari lahan basah sampai lahan kering. Berdasarkan kesesuaian
agroekosistem, dijumpai beragam kultivar talas. Genotipe talas di Papua sangat
beragam dalam sifat morfologi, umur, dan potensi hasil. Pada umumnya
sifat-sifat liar talas masih jelas terlihat bila dibandingkan dengan jenis
talas yang diusahakan di Jawa. Beberapa kultivar berdaya hasil tinggi tersebut
merupakan suatu potensi untuk mendapatkan verietas yang berdaya hasil tinggi
dan memenuhi preferensi konsumen. Pada setiap agroekosistem di Papua ditemukan
beberapa jenis talas dengan Bentuk daun Segitiga. Posisi daun Tegak, ujung
Tegak, ujung menghadap ke bawah, warna helai daun Hijau kekuningan. Hijau Warna
persimpangan petiol hijau ungu kuning warna utama tulang daun hijau kuning
putih, pola tulang daun bentuk Y. Lapisan lilin daun tinggi, warna pelepah daun
ungu kuning kehijauan.
5. SAGU
Sagu
(Metroxylon sp.), merupakan bahan pangan utama bagi masyarakat Papua yang
tinggal di daerah pesisir. Daerah pesisir yang berair atau rawa merupakan
tempat tumbuh berbagai jenis sagu. Pohon sagu di Papua tumbuh secara alami
tanpa tindakan budi daya dari penduduk setempat. Di Papua ditemukan 20 jenis
sagu dan dapat dibagi ke dalam empat kelompok genetik. Terlepas dari perbedaan
jumlah aksesi sagu yang dilaporkan, di Papua ditemukan berbagai jenis sagu
dengan potensi hasil yang berbeda-beda. Penyebaran pohon sagu terbesar di
Papua, baik jenis maupun luasannya, terdapat di Sentani, Kabupaten Jayapura.
Hutan sagu umumnya tumbuh secara alami. Namun sebagian petani mulai menyadari
pentingnya pelestarian hutan sagu sehingga mereka mulai melakukan kegiatan budi
daya. Areal sagu di Provinsi Papua termasuk Papua Barat yang telah dimanfaatkan
baru sekitar 14.000 ha, atau 0,34% dari potensi yang ada.
Dengan demikian,
pemanfaatan sagu sebagai sumber pangan alternatif bagi penduduk maupun untuk
kebutuhan industri sangat menjanjikan. Produksi sagu di Papua jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan kebutuhan untuk konsumsi. Salah satu wilayah pusat
pertumbuhan sagu alam di Papua terdapat di sekitar Danau Sentani Kabupaten
Jayapura, dengan luas 4.000−5.000 ha. Pada wilayah ini ditemukan beberapa
aksesi sagu yang memiliki produktivitas tinggi. Miyazaki (2004) melaporkan,
beberapa aksesi sagu di Sentani menghasilkan pati cukup tinggi.
Sagu
dikonsumsi sebagai menu sehari-hari dalam bentuk papeda basah maupun papeda
kering/bungkus. Papeda basah adalah gelatin sagu dan dikonsumsi dengan dicampur
kuah ikan dan sayuran. Papeda kering/bungkus adalah gelatin sagu yang dibungkus
dengan daun fotofe (nama lokal), yaitu sejenis pisang-pisangan. Pembuatan
papeda kering/bungkus biasanya dilakukan apabila penduduk hendak bepergian
seperti berburu, karena lebih tahan disimpan dibandingkan dengan papeda basah.
Pemanfaatan pangan lokal Papua sebagai sumber pangan alternatif disajikan pada.
Pembuatan gelatin sagu dilakukan dengan mencampur tepung sagu dengan air
mendidih sambil diaduk. Perbandingan antara tepung sagu dan air mendidih adalah
1 : 2, yaitu 1 kg pati sagu ditambahkan dengan air mendidih 2 liter. Dalam
skala industri rumah tangga, terutama di perkotaan, sagu diolah menjadi aneka
kue kering.
6 GEMBILI
Gembili (Dioscorea sp.),
berbagai jenis gembili ditemukan di kebun petani di Papua. Spesies yang paling
banyak adalah D. alata dan D. esculenta. Gembili biasanya ditanam dalam jumlah
terbatas, meskipun penduduk sangat menyukainya. Hal ini disebabkan ketersediaan
bibit terbatas dan umur panennya agak lama, yaitu 7−9 bulan. Gembili dikonsumsi
dalam bentuk gembili rebus atau bakar, meskipun dapat pula diolah menjadi
berbagai kue atau kolak gembili.
(Gambar . Pertumbuhan
gembili di Merauke, Papua.)
Gembili belum
dikembangkan sebagai industri rumah tangga, karena selain produksinya terbatas,
pengetahuan petani dalam penganekaragaman produk gembili masih rendah.
Tanaman gembili tersebar
di beberapa wilayah Papua, terutama di Merauke. Suku Kanum di Merauke sebagai
salah satu sub suku Marind yang mendiami Taman Nasional Wasur mengonsumsi
gembili secara turun-temurun sebagai makanan pokok. Namun saat musim paceklik
atau belum memasuki masa panen gembili, penduduk melakukan kegiatan berburu dan
sebagai pangan alternatifnya adalah sagu dan pisang. Sistem budi daya gembili
sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat suku Kanum karena mempunyai nilai
budaya yang tinggi, yaitu sebagai mas kawin serta pelengkap pada upacara adat.
Tanpa gembili, suku Kanum tidak dapat melaksanakan pernikahan.
Dengan demikian, budi
daya gembili bagi suku Kanum merupakan suatu keharusan. Tingginya perhatian
masyarakat suku Kanum terhadap gembili merupakan peluang sekaligus tantangan
untuk mengembangkan gembili di masa mendatang. Masyarakat suku Kanum
membudidayakan berbagai kultivar gembili, menamakan kultivar gembili
berdasarkan karakter morfologi umbi. Sistem budi daya bergantung pada jenis
gembili yang ditanam. Umumnya gembili dibudidayakan dengan menggunakan tajar
dari bambu dengan tinggi 2,50−4 m. Untuk menjamin keberlanjutan konsumsi,
gembili yang dipanen disimpan di suatu tempat dalam rumah kecil yang diberi
nama keter meng. Rumah kecil tersebut terbuat dari bambu dan beratapkan kulit
kayu bus (Melaleuca sp.) agar gembili terhindar dari sinar matahari langsung.
7. JAWAWUT
Jawawut
(Setaria italica sp.) Jawawut merupakan sejenis tanaman serealia yang banyak
dijumpai di Biak Numfor, dengan nama lokal pokem atau gandum Papua. Tanaman ini
meliputi lima genera, yaitu Panicum, Setaria, Echinochloa, Pennisetum, dan
Paspalum, semuanya termasuk dalam famili Paniceae. Jenis jawawut yang ditemukan
di Papua termasuk spesies Setaria italica (pokem ekor macan) dan Pennicetum
glaucum (pokem ekor kucing).
(Gambar. Pertumbuhan
jawawut pada lahan kering di Biak Numfor, Papua.)
Dari
spesies tersebut ditemukan berbagai warna. Menurut masyarakat Biak Numfor dalam
Rumbrawer (2003), ada lima jenis jawawut yang dijumpai di Biak Numfor, yaitu
pokem vesyek (jawawut cokelat), pokem verik (jawawut merah), pokem vepyoper
(jawawut putih), pokem vepaisem (jawawut hitam), dan pokem venanyar (jawawut
kuning).
Bagi penduduk Biak
Numfor, jawawut telah lama dimanfaatkan sebagai bahan makanan pokok dan
komoditas adat. Rumbrawer (2003) menyatakan bahwa orang Numfor telah
berabad-abad menggantungkan hidupnya pada budi daya jawawut sebagai pangan
pokok selain umbi-umbian dan kacang hijau. Selanjutnya dinyatakan bahwa orang
Numfor adalah penanam, penghasil, distributor, dan konsumen jawawut maupun
kacang hijau sejak dahulu kala. Jawawut atau gandum Papua memiliki keunggulan
dibandingkan dengan jenis gandum lainnya. Jawawut mengandung karbohidrat lebih
tinggi, yakni 74,16% dibanding gandum (Triticum sp.) yaitu 69%). Ini
menunjukkan bahwa jawawut berpotensi sebagai sumber pangan fungsional, terutama
sebagai sumber energi.
Jawawut
berpotensi untuk dikembangkan dalam rangka memperkuat ketahanan pangan sebagai
sumber karbohidrat pengganti beras. Jawawut memiliki keunggulan dibandingkan
dengan tanaman sumber karbohidrat lain, seperti dapat tumbuh pada hampir semua
jenis tanah termasuk tanah kurang subur, tahan kekeringan, mudah dibudidayakan,
umur panen pendek, dan kegunaannya beragam. Petani umumnya menanam jawawut
dengan sistem tambur benih secara langsung setelah lahan dibakar. Simanjuntak
dan Ondikleuw (2004) melaporkan, hasil jawawut dengan cara tanam tambur benih
secara langsung tanpa pemupukan lebih rendah dibandingkan dengan cara tanam
pindah atau tambur benih secara larikan.
DAFTAR PUSTAKA
Budi, I.M. 2003.
Pemanfaatan gandum Papua (pokem) sebagai sumber pangan alternative untuk
menunjang ketahanan pangan masyarakat Papua. Aviable at :
http://andy.web.id/makanan-pokok.php. accessed Oktober 2009.
Rumawas, F. 2004.
Ubi-ubian sebagai salah satu pangan spesifik lokal dan strategi pengembangannya
di Provinsi Papua. . Aviable at :
http://www.e-dukasi.net/mapok/mp_full.php?id=382&fname=materi03.html
accessed Oktober 2009.
Limbongan, J., A.
Hanafiah, dan M. Nggobe. 2005. Pengembangan Sagu Papua. Aviable at :
http://www.pustaka-deptan.go.id/inovasi/kl08081.pdf. accessed Oktober 2009.
Ondikleuw, M., M.S.
Lestari, Sudarsono, dan A.W. Rauf. 2008. Karakterisasi, Identifikasi, dan
konservasi gembili di Papua.
Aviable at :
http://hersynanda.blog.uns.ac.id/2009/04/19/diversifikasi-makanan-pokok-beras-jagung
. accessed Oktober 2009.
3 comments:
Sangat bermanfaat
Permisi Ya Admin Numpang Promo | www.fanspoker.com | Agen Poker Online Di Indonesia |Player vs Player NO ROBOT!!! |
Kesempatan Menang Lebih Besar,
|| WA : +855964283802 || LINE : +855964283802
Permisi Ya Admin Numpang Promo | www.fanspoker.com | Agen Poker Online Di Indonesia |Player vs Player NO ROBOT!!! |
Kesempatan Menang Lebih Besar,
|| WA : +855964283802 || LINE : +855964283802
Post a Comment